Rizal Fauzi A
Menarik pak setelah saya baca artikel di wordpress nya bapak,namun pak kembali kepada pertanyaan mendasar, apakah nantinya banyak tercipta desainer muda Indonesia yang mau untuk mengorbankan “kemewahan” saat berkuliah dengan mencoba memajukan UKM berkualitas dengan ilmu yang didapat untuk mencoba melabelisasi produk asli Indonesia yang terbaik dengan harga murah atau tidak dibayar sekalipun. terima kasih pak [:D]
Surianto Rustan
February 1
jadi kalau saya pikir, riwayat seorang desainer itu ada tahap2nya, misalnya: kuliah, atau tidak kuliah, awal bekerja, sudah bekerja tahunan, sudah bekerja puluhan tahun (senior).
nah membantu orang lain itu tidak terikat dengan setinggi apa karier kita. bisa kapan saja, apakah waktu masih kuliah, atau sudah senior. kalau di luar negeri, seorang desainer profesional justru berlomba2 mendapatkan pekerjaan yang sifatnya sosial, misalnya social campaign, membantu ukm, dll, krn itu sangat bagus buat portfolio mereka. jadi menyeimbangkan antara pekerjaan komersial dan segi pelayanan sosial. brandingnya jadi bagus. di sini juga demikian, kalaupun belum membudaya, sikap seperti itu adalah perlu: membantu orang lain kapanpun. saya sendiri dan beberapa teman desainer punya pemikiran yg sama, jadi selain kita bekerja komersial, kita seimbangkan dengan bekerja sosial bahkan tanpa dibayar sepeserpun.
Surianto Rustan
February 1
karena kita seharusnya melihat gambaran besarnya, bahwa bukan semata-mata uang yang paling penting, melainkan juga reputasi pribadi / nama baik. kalaupun itu masih dianggap bungkus, mari masuk ke yang lebih dalam lagi: hati nurani [:)] Nah Mas Rizal sejak awal sudah memiliki kepekaan tsb, silahkan menyebarkan virus kebaikan tsb di lingkungan terdekatnya dulu, baru lama2 meluas.
Surianto Rustan
February 1
bagi desainer muda / pemula, lebih jelas lagi kebutuhan mereka memang harus melayani orang lain dulu, tanpa mengharapkan balasan materi, krn yg dibutuhkan oleh mereka lebih berupa: portfolio, network, pengalaman, latihan, dll. jadi paling baik melihat ke dalam / introspeksi, jadi kita tetap sadar saya sedang berada di tahap mana, dan apa yg sebaiknya saya lakukan, apa saya sudah bisa kasih harga mahal, apa belum, bagaimana kualitas saya, kapan saya harus lebih membantu orang, kapan harus kerja lebih keras lagi, dll.
Rizal Fauzi A
February 1
Waw, [:D] saya tidak menyangka pak kalo jawabannya sekomprehensif ini pak [:D] . Terima kasih sekali
Mengenai undangan tersebut ya iya saya memahaminya [:)] , tanpa ada kekhawatiran lain pak. Insyaallah saya sedang menuju itu (untuk mencoba mengundang dan menimba ilmu langsung di kampus udinus) [:D]
Lalu untuk menjadi seorang desainer muda yang berkembang seperti yang bapak ungkap disini kadang pak kita sebagai seorang desainer terjegal hal yang sama, kebutuhan ekonomi.
Lalu apakah memang kita harus menjadi desainer yang seperti supermarket? yang notabenenya terkadang harus bersimpangan dengan apa yang kita yakini dari awal, atw mungkin adakah cara yang lainnya tanpa kita meninggalkan idealis kita tersebut?
Surianto Rustan
February 1
Banyak Cara mengakalinya Mas Rizal, ada teman saya desainer profesional, di sela2 proyek desain idealis pribadinya, ia jg menerima pekerjaan2 desain ecek2 spt brosur, kartu nama, dll. Jadi dia mengelompokkan ada 2 macam kerjaan desain, yg 1 yg sifatnya komersial, dan uangnya cepat dan banyak, yg 1 lagi pekerjaan idealis sosial yg tidak ada uangnya. Pekerjaan komersialnya bisa menghidupi dirinya dan memodali idealismenya. Kreatif dan seimbang kan?
Surianto Rustan
February 1
Jadi bukan berarti kota menolak uang, tapi bagaimana secara arif mengolahnya utk tujuan yg lebih mulia
Mohon maaf saya sudah siap2 kuliah, jadi hrs terpotong obrolannya, tapi silahkan dilanjutkan saja apabila masih penasaran [:)] terimakasih bisa berbincang2 dengan Mas Rizal yg menyenangkan
Rizal Fauzi A
February 1
iya makasih banget atas kerelaannya meluangkan waktu dan berbagi dengan saya yang sangat cerewet ini heheheh. sekali lagi terima kasih banyak pak [:D]